Setiap orang memang unik. Sangat menarik bila kita memperhatikan betapa berbeda-bedanya respons tiap orang terhadap perubahan. Ada teman yang dengan cepat masuk ke situasi perubahan, tanpa banyak perlawanan. Dia berpendapat bahwa apa yang dikatakan oleh para senior sebaiknya di ‘terima’ saja, karena toh para sesepuh ini berpengalaman dan sudah banyak makan asam garam. Perubahan apapun yang harus dia lakukan, dikerjakan dengan sukarela tanpa banyak perlawanan. Adaptasinya prima, walaupun bisa juga dikatakan teman kita ini layaknya robot, tidak melakukan perubahan atas insiatifnya sendiri.
Sebaliknya, teman yang lebih muda, menggunakan pendekatan yang berbeda bila dihadapkan pada segala macam barang baru, instruksi baru, sistem dan prosedur baru. Ia bisa diam membeku, tidak melakukan apa-apa. Mungkin sebenarnya ingin juga dia demo atau protes, tetapi karena status juniornya, ia memilih diam. Ketika saya tanyakan mengapa dia tidak ‘menurut’ saja bila diberi instruksi, dia menjawab: ”Saya perlu tahu akar permasalahannya , mengapa dan untuk apa saya berubah.” Jadi teman kita ini mempunyai syarat -syarat yang harus dipenuhi untuk mau berubah. Pantas saja, perubahan sulit terjadi. Untuk ‘membeli’ alasan berubah saja individu ada yang bermasalah.
Kekuatan Menerobos Kesulitan
Dalam sebuah meeting perusahaan, saya menyaksikan betapa ‘berubah’ itu terasa bagai benda langka. Ketika ada usulan untuk membuat ‘lompatan signifikan’, ada beberapa orang yang melanjutkan pembicaraan, namun ada juga yang saling lempar pandang. Ironisnya, tak ada seorang pun yang lantang mengusulkan kegiatan apa yang perlu dihentikan, pos mana yang perlu dipangkas dan tindakan apa yang harus dilakukan. Bila kita perhatikan, sikap “gotong royong” menyuburkan keengganan berubah begitu besar pengaruhnya, seakan menjadi benteng tebal yang menghambat perubahan. Mentalitas malas berubah inilah yang perlu kita garap.
Bila individu sudah mau berubah, seakan ada energi baginya untuk menghentikan kebiasaan lama dan mendorong dirinya masuk ke masa transisi. Dalam masa transisi inilah, biasanya cobaan silih berganti muncul. Kebiasaan lama memanggil, rintangan dan konflik mulai berkecamuk. Bayangkan godaan di minggu-minggu pertama seseorang yang memulai diet atau berniat berhenti merokok. Pada saat inilah kondisi baru, tidak terasa nikmat oleh yang bersangkutan sehingga tidak memotivasinya. Konflik dalam diri bisa menimbulkan sikap skeptis, bahkan sinis terhadap inisiatif perubahan yang dicanangkan. Transisi ini memang sangat kritikal. Kita perhatikan, dalam upaya awal perubahan, kira-kira 95% populasi, kembali pada posisi lama. Mereka yang berhasil biasanya adalah individu yang punya kemampuan ‘adversity’ yang baik, yaitu kekuatan menerobos kesulitan, melawan kegamangan, mendobrak masuk ke situasi baru dan menghentikan lama. Tanpa mengembangkan kemampuan adversity, sulit bagi kita untuk bisa membuat lompatan dengan enerji ekstra.
Dari Ujung ke Ujung
Sebuah tim sales terbiasa bertindak tanpa pikir panjang, grabag-grubug, minim perencanaan. Kebiasaan ini akhirnya menimbulkan banyak inefisiensi dan kerugian bagi tim. Atasan yang melihat situasi ini, kemudian berusaha mendalami permasalahannya bahkan mengumpulkan tim salesmannya untuk meeting dan menetapkan komitmen. Tiga bulan berlalu, ternyata kebiasaan lama tetap berjalan. Inilah yang sering sekali terjadi pada upaya perubahan yang dicanangkan. Misi perubahan yang tidak dibarengi dengan kekuatan kontrol, penguatan spirit dan visi serta ke-’kekeuh’-an atasan pada misinya akan sulit untuk mencetak kesuksesan perubahan.
Di banyak perusahaan besar, tak jarang ‘change agent’ hanya berfokus pada seremonial pencanangan perubahan saja dan berasumsi bahwa perubahan bisa terjadi dengan sendirinya. Padahal, motivasi ‘khalayak’ perlu diperhitungkan. Akan sangat membantu bila kita memahami berapa persen karyawan yang bisa menjadi promotor, yaitu mereka yang sudah menerima, mau serta mampu segera menjalankan perubahan. Sebaliknya, kita pun perlu mengira-ngira berapa persen yang tidak mau atau tidak bisa menjalankannya agar kita bisa menentukan langkah dan gerakan. Kita juga perlu membuat langkah-langkah kecil agar perubahan bisa dimonitor oleh semua pihak dan bisa segera dirasakan manfaatnya. Terkadang upaya organisasi, katakanlah dalam menerapkan paperless management, online service atau Performance Based Culture, sering patah di tengah jalan, karena sulitnya mempersepsi proses perubahannya secara total sampai ke ujung. Bila ini terjadi, perubahan akan terlihat dan terasa ‘hangat-hangat tahi ayam’ saja.
Jangan Terlambat Menyadari
Banyak orang berpendapat, kondisi sekarang saja belum optimal, kok sudah mau berubah lagi. Pilihannya tentu saja di tangan kita sendiri. Kita punya pilihan untuk setiap saat siap menantang diri untuk maju dan seperti layaknya ‘climbers’, para pendaki gunung. Kita bisa juga memilih untuk meng-enjoy perubahan sedikit demi sedikit atau sering disebut ‘campers’. Asalkan jangan menjadi ‘quitters’, yang baru mencoba berubah sedikit langsung kembali ke kebiasaan lama.
Seorang ahli mengingatkan kita yang masih ingin berkembang untuk waspada dengan “boiling frog phenomenon”, yaitu katak hidup yang direbus dalam air secara perlahan-lahan. Si katak tidak menyadari bahaya karena perubahan panas terjadi perlahan-lahan. Saat ia sadar, semua sudah terlambat. Ia tidak punya tenaga lagi untuk melarikan diri. Kita pun juga bisa terjebak dan tidak sadar akan perubahan yang lambat dan membahayakan. Tantangan dan kompetisi sudah di depan mata. Jika kita terus menunggu, menunda, tidak waspada, lambat mengambil tindakan, gagal melakukan antisipasi, berarti kita membuat situasi bertambah parah. Saat kita menyadari, bisa jadi semuanya sudah terlambat.
(Sumber: Kompas, 23 Januari 2010)